Tanamkan Pendidikan Karakter melalui Kebudayaan
Solo, Jateng - Upaya menanamkan
pendidikan karakter bisa dilakukan dengan sarana kebudayaan. Selain
efektif, hal ini juga sekaligus mengajak siswa mencintai budaya
Indonesia. Pendapat itu disampaikan dosen Jurusan Pedalangan Institut
Seni Indonesia (ISI) Solo, Sunarto Sindhu SKar, saat ditemui Espos
seusai mengisi acara Pentas Budaya di SD Muhammadiyah 1 Solo, akhir
pekan lalu.
Sindhu menerangkan jika seorang anak mengenal budaya sejak dini, diharapkan muncul kesenangan terhadap budaya, lalu ada keinginan mempelajari bahkan melestarikannya. “Jika sudah ada perasaan memiliki budaya, anak akan mencintai dan berusaha melestarikannya,” jelasnya.
Ia mencontohkan media wayang bisa menjadi salah satu sarananya. Jika guru di sekolah tidak ada yang bisa bermain wayang, mereka bisa mengajak kerjasama orang yang bisa mendalang. Pada saat pertunjukkan wayang itulah, pendidikan karakter bisa dilakukan. Dalang, terangnya, bisa mencontohkan bagaimana kehidupan seseorang yang berperilaku baik dan berperilaku jahat.
“Pertemukan tokoh baik dan tokoh jahat. Lalu ceritakan bagaimana kehidupan tokoh jahat, bagaimana tokoh baik. Hal ini bisa dicerminkan melalui tingkah laku, sopan santun dan kegiatan sehari-hari. Misalnya anak nakal yang suka merokok kemudian diceritakan suatu saat menderita sakit paru-paru,” ungkapnya.
Pendapat sebagian orang bahwa wayang adalah budaya kuno, terangnya, bisa dibantah jika dalang bisa memodifikasi cerita dan tokohnya. Jika wayang akan ditujukan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak, dalang seharusnya menyesuaikan jalan cerita dan tokohnya. Hal ini ia lakukan ketika dirinya mementaskan wayang golek di hadapan sekitar 120 siswa kelas IV SD Muhammadiyah 1 Solo, akhir pekan lalu.
Kepala SD Muhammadiyah 1 Solo, Drs Muh Abu Nasrun MPd mengungkapkan kegiatan itu sengaja digelar dengan tujuan untuk menanamkan rasa cinta anak terhadap seni dan budaya. Menurutnya seseorang yang mencintai seni, biasanya adalah pribadi yang berperasaan lembut. Sehingga sentuhan kepribadian terhadapnya lebih mudah. “Perasaannya lebih peka,” ujarnya.
Sindhu juga mengingatkan agar orangtua mewaspadai seorang anak yang sering menonton sinetron. Pasalnya pada kebanyakan sinetron, seorang tokoh yang berperan jahat, digambarkan selamanya jahat. Seolah hidup manusia itu tak pernah berubah. Bukan tidak mungkin ketika seorang anak sering menonton sinetron akan timbul persepsi bahwa seseorang yang jahat, akan selamanya jahat. Ewt
Sindhu menerangkan jika seorang anak mengenal budaya sejak dini, diharapkan muncul kesenangan terhadap budaya, lalu ada keinginan mempelajari bahkan melestarikannya. “Jika sudah ada perasaan memiliki budaya, anak akan mencintai dan berusaha melestarikannya,” jelasnya.
Ia mencontohkan media wayang bisa menjadi salah satu sarananya. Jika guru di sekolah tidak ada yang bisa bermain wayang, mereka bisa mengajak kerjasama orang yang bisa mendalang. Pada saat pertunjukkan wayang itulah, pendidikan karakter bisa dilakukan. Dalang, terangnya, bisa mencontohkan bagaimana kehidupan seseorang yang berperilaku baik dan berperilaku jahat.
“Pertemukan tokoh baik dan tokoh jahat. Lalu ceritakan bagaimana kehidupan tokoh jahat, bagaimana tokoh baik. Hal ini bisa dicerminkan melalui tingkah laku, sopan santun dan kegiatan sehari-hari. Misalnya anak nakal yang suka merokok kemudian diceritakan suatu saat menderita sakit paru-paru,” ungkapnya.
Pendapat sebagian orang bahwa wayang adalah budaya kuno, terangnya, bisa dibantah jika dalang bisa memodifikasi cerita dan tokohnya. Jika wayang akan ditujukan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak, dalang seharusnya menyesuaikan jalan cerita dan tokohnya. Hal ini ia lakukan ketika dirinya mementaskan wayang golek di hadapan sekitar 120 siswa kelas IV SD Muhammadiyah 1 Solo, akhir pekan lalu.
Kepala SD Muhammadiyah 1 Solo, Drs Muh Abu Nasrun MPd mengungkapkan kegiatan itu sengaja digelar dengan tujuan untuk menanamkan rasa cinta anak terhadap seni dan budaya. Menurutnya seseorang yang mencintai seni, biasanya adalah pribadi yang berperasaan lembut. Sehingga sentuhan kepribadian terhadapnya lebih mudah. “Perasaannya lebih peka,” ujarnya.
Sindhu juga mengingatkan agar orangtua mewaspadai seorang anak yang sering menonton sinetron. Pasalnya pada kebanyakan sinetron, seorang tokoh yang berperan jahat, digambarkan selamanya jahat. Seolah hidup manusia itu tak pernah berubah. Bukan tidak mungkin ketika seorang anak sering menonton sinetron akan timbul persepsi bahwa seseorang yang jahat, akan selamanya jahat. Ewt
Sumber: http://www.solopos.com
Sumber Foto: http://syaifudin.student.umm.ac.id